Sebuah Hitungan Yang Terlantar

Dentuman suara anak yang sedang menghitung dengan sangat keras mengiringi irama kaki saya yang ingin menuju pada persembunyian jauh tak terlihat oleh siapapun. Dimana ada sebuah bola yang di letakkan pada garis lingkaran yang tertulis di atas bidang tanah yang cukup luas dengan seorang anak yang sedang jongkok sambil menundukkan kepala juga menutup mata. Anak itu terenyuh dalam lamunnya sambil menghitung dengan sangat keras, lalu tiba-tiba tiada orang satu pun yang ada disana selain kehampaan sejenak, hingga tersadar lalu mencari teman-teman lainnya. Cerita ini saya ambil dari cerita saya sendiri saat itu usia saya masih kecil sekitar 8 tahun, masih bergulat dengan canda tawa yang tidak lepas dari wajah riang gembira dari lengkungan bulan sabit yang terbentuk dari bibir manis.
Sebutlah permainan rakyat, menurut buku yang berjudul “PERMAINAN RAKYAT” karya Drs. AZWAR, Permainan rakyat sebagai salah satu unsur daripada kebudayaan bangsa yang perlu diselamatkan, di mana dewasa ini sudah ada Permainan rakyat yang semula di kenal dan sering dilakukan oleh masyarakat pendukungnya menjadi jarang dilakukan untuk pada akhirnya menjadi lenyap dari kehidupan tradisional rakyat yang bersangkutan karena pengaruh kebudayaan dari luar masyarakat pendukungnya.
 Permainan yang akan saya bahas kali ini ialah “PERMAINAN SEPAK TEKONG”, dimana permainan itu menggunakan bola, lalu anak-anak yang bermain atau biasa disebut peserta. Permainan sepak tekong ini adalah permainan rakyat yang pada saat itu digemari oleh anak laki-laki, biasa juga dimainkan pada sore hari. Bermain sepak tekong tidaklah susah, yang di perlukan adalah kegesitan dalam berlari dan juga kelincahan.
Permainan rakyat ini hampir sama dengan permainan petak umpet dimana umumnya sama-sama bersembunyi sampai ditemukan, namun yang membedakan adalah media yang digunakan dalam permainan sepak tekong itu sendiri.
Jumlah pemain sepak tekong ini diatas 2 orang, namun jika hanya 2 orang saja maka permainan sangatlah tidak menarik dan terlihat monoton, semakin banyak peserta yang bermain maka permainan sepak tekong itu sendiri akan sangat terlihat seru.
Hal pertama untuk memulai permainan yaitu membuat lingkaran, di dalam lingkaran itu di letakkan bola plastik, lalu menentukan dulu siapa yang akan berjaga dengan menyanyikan kata “ajakan putih yang hitam ajak” dan jika belum ada yang jadi sebagai penjaga maka mengatakan “yang tunggal ajak” sambil bernyanyi, jika sudah di tentukan maka peserta yang lainnya bersembunyi, lalu si penjaga berhitung yang biasanya dimulai berhitung dari 1 sampai 10 dengan suara yang keras dan ritme yang lambat. Lalu setelah selesai menghitung si penjaga mencari peserta yang telah bersembunyi.
Jadi tugas si penjaga tadi adalah menjaga bola agar bola itu tidak di tendang oleh peserta lainnya yang bersembunyi, kemudian selain menjaga si penjaga itu bertugas mencari peserta yang sedang bersembunyi. Jika ada peserta yang bersembunyi terlihat oleh penjaga, maka penjaga cukup menyebutkan namanya sambil diiringi dengan kata “tewak” contohnya “waldy tewak”. Nama itu tidak boleh salah pada penyebutan nama seseorang. Ibarat nama seseorang yang telah salah di panggil maka terjadi konflik kecil di permainan tersebut, maka di gunakan nama seseorang di awal kata tewak dengan benar, seperti yang utarakan oleh Melani Budianta dalam sajak yang berjudul Ganjar Hwia
“jika aku mempergunakan kata-kata, kupilih untuk artinya saja, tidak lebih,” kata Humpty Dumpty.
“Benar, jika kau gunakan kata-kata lain maka nada barang yang berbeda artinya dari nama barang itu,” jawab Alice.
(Alice in Wonderland).
Dan biasanya saat akan menendang bola itu peserta dan penjaga dulu-duluan menendang bola.
Namun, kini perkembangan zaman menggerus budaya yang telah kita lestarikan dulu. Dimana kesenangan bersama orang lain dan berbaur saling memiliki tenggang rasa antar anak-anak sebaya waktu kecil dulu, kini sudah tergantikan dengan teknologi canggih yaitu gadget.
Sebuah tanggung jawab yang di ajarkan dalam permainan sepak tekong itu sendiri, tidak di sadari bahwa telah mengajarkankan kita untuk memegang amanat yang yang harus terlaksana. Amanat itu sendiri membawa sugesti kita untuk mebangun keberanian, yang datang dari sifat kepolosan kita sendiri, sebagaimana dipertegaskan oleh Publishes weekly, keberanian… diperlihatkan melalui kehalusan dan kecerdasan.
Lalu keceriaan tulus yang tergambarkan dari anak-anak kecil pada saat itu tidaklah tergores oleh sedikitpun pisau-pisau kegalutan dunia yang ingin menjerumuskan anak-anak dulu sehingga memudarkan sebuah tradisi di rakyat terdahulu. Seperti dalam halnya apa yang di katakan oleh Robert Stanton lalu menguatkan dalam pernyataannya bahwa, “mempertanyakan mengapa es krim tidak berasa seperti steak atau mengeluhkan mengapa sayuran tidak semanis hidangan pencuci mulut.” Sangatlah polos anak-anak pada masa itu, tidak ada campur tangan bangsa teknologi yang dengan tidak sadarnya memberikan hal yang tidak sedikit berdampak buruk bagi psikologi anak di masa sekarang.
Tidak ada lagi suara anak-anak kecil meneriakkan 1, 2, 3, ....,10. Seperti tak terdengar lagi keceriaan yang tulus dari anak-anak di zaman sekarang, begitu mirisnya budaya teknologi sekarang.
Bukan tidak baik mengikuti zaman, namun alangkah baiknya kita sebagai rakyat Indonesia untuk melestarikan budaya-budaya di Indonesia, sembari mengajarkan hal-hal yang baik bagi anak-anak di masa sekarang ini, dengan kita ikut melestarikan budaya kita sendiri, maka kita telah melakukan 1 langkah kecil untuk membangun Indonesia itu sendiri.

Sekian dan terimakasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menerjemahkan Suwe Ora Jamu

Jejak Kaki Dy

Tentang Pengadilan Puisi