Tentang Pengadilan Puisi

Sejak tahun 50 an hingga sekarang, agaknya kesusastraan Indonesia modern selalu diwarnai oleh perdebatan/polemik yang menyangkut berbagai hal.
Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir. “Pengadilan” yang diselenggarakan Yayasan Indonesia ini diadakan di Aula Universitas Parahyangan, Bandung,  8 September 1974 dan diikuti oleh sejumlah pengarang Indonesia. Dalam acara ini, Slamet Kirnanto yang bertindak sebagai “Jaksa” – membacakan “tuntutan”-nya yang berjudul “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”
Jika kita membaca tulisan Darmanto Jt. maupun tulisan (=”tuntutan”) Slamet Kirnanto yang disebut di atas secara tersirat maupun tersurat memang terasa di dalamnya ketidakpuasan terhadap kehidupan puisi Indonesia pada saat itu. Ketidakpuasan itu antara lain menyangkut : (1) system penilaian terhadap puisi Indonesia, (2) kritikus sastra Indonesia, (3) media yang memuat karya sastra Indonesia, dan (4) beberapa penyair Indonesia yang dianggap “mapan”.
Dengan harapan: mereka (semua penyair dan kritikus sastra) yang tidak menghadiri acara Pengadilan Puisi dan Jawaban Atas Pengadilan Puisi bisa memperoleh gambaran sepintas mengenai apa – kira-kira – yang terjadi di Bandung dan Jakarta.
Dua jam sebelum acara dimulai penyelenggara Djen Amar dan Sanento Yuliman menjelaskan kepada saya (Taufiq Islamil) apa yang dimaksudkan dengan Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir itu. Rupanya kawan-kawan di Bandung ini ingin mencari sesuatu bentuk lain dalam membicarakan kesusatraan, dalam hal ini puisi. Serta hadirin sekitar 200 orang di Aula Universitas Parahyangan itu.
Dakwaan merupakan sejumlah kejengkelan terhadap keadaan kritik puisi, terhadap kritikus, terhadap penjagoan-penjagoan, terhadap gejala “saling memuji”, terhadap Horison yang “tidak mampu lagi menjalankan peranan penuh tanggung jawab”, “terjerumus jadi majalah keluarga”, dan “tempat subur epigon-epigon”.
Isi tuntutan seperti ini :
Pertama, para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan puisi mutakhir, khususnya HBJ dan MSH, harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki.
Kedua, para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicuti-besarkan.
Ketiga, para penyair mapan seperti Subagio,  Rendra, Goenawan, dan sebangsanya dilarang menulis puisi dan para epigonnya harus dikenakan pembuangan, kemudian inkarnasinya dibuang pula ke pulau paling terpencil.
Keempat dan terakhir, Horison dan Budaya Jaya harus dicabut SIT-nya dan yang terbit saat ini dinyatakan tidak berlaku, dan dilarang untuk dibaca peminat sastra serta masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra dan puisi yang kita harapkan sehat dan wajar. Ini semua didasarkan atas “Kitab Undang-undang Hukum Puisi”.
Sebuah kursi kosong terletak di tengah ruangan pengadilan, tempat duduk terdakwa yang tak berjasad: Puisi Mutakhir Indonesia. Tapi semua orang lupa dan saksi-saksi pun bergantian saja menduduki kursi terdakwa itu, sesudah menyeretnya ke sana kemari.
Kadarnya saja yang berbeda-beda (cara membicarakan sastra), tapi rumus umumnya sama dimana-mana (cara menyelesaikan masalah sastra). Juga janji bersama untuk 8 September di Aula Unpar Bandung adalah: dengan apresiasi terhadap kejenakaan, ala kadar yang bias dicapai.
 Jadi, inti dari Pengadilan Puisi ini ialah: Pertama-tama, tentu saja untuk mensahkan hak hidup puisi Indonesia. Ini sangat penting, sebab dengan demikian penyair-penyair sudah tidak lagi dikejar-kejar pertanyaan tuntutan: Relevankah kehadiran puisi di Indonesia?. Kemudian yang Kedua, ini penting, sebab dengan demikian penyair-penyair akan mengerti mana yang boleh ditulis atau dipuisikan dan mana yang tidak. Yakni untuk mencegah terjadinya kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di dalam masyarakat, akibat adanya hal-hal yang tak perlu dipuisikan – sebab efeknya negative terhadap masyarakat. Kemudian yangketiga, tentu saja, pengadilan ini berhak menjatuhkan hukuman mental, sebab puisi terkena hukuman ini. Sajak-sajak kotor dan menghina agama, tentu akan menyebabkan si penyair dituntut.
Rangkuman dari buku “PENGADILAN PUISI” yang di tulis oleh “Pamusuk Eneste” tahun 1986.


Samarinda, 22 April 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menerjemahkan Suwe Ora Jamu

Jejak Kaki Dy