Kisah Yang Pernah Tertelan Masa
Salah Satu Pendiri Kota Samarinda: La Mohang
Daeng Mangkona
Penulis : Waldy Wahyu Iswantara
Secara
astronomi wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda terletak antara 2’ 25’’
LS sampai dengan 1o 13’ 15’’ LS, dan antara 117 BT sampai dengan 117o 45’ BT. Letak geografis daerah ini berada di sepanjang Sungai Mahakam melebar
ke daratan antara 10 sampai 16 km (Ars, 1986: 1). Pada kunjungan saya bersama
rekan mahasiswa dan dosen saya ingin mendapati informasi tentang La Mohang Daeng Mangkona (8 januari 2017), kami mulai berkumpul pada jam
8.00 wita di Fakultas Ilmu Budaya, dan berangkat sekitar jam 09.30 wita, dan
sampai di tempat sekitar jam 10.15 wita, sesampainya disana kami memulai dengan
penghormatan/berdoa di makam Lamohang Daeng Mangkona, dengan juru kunci yang
ke-3 yaitu Bapak Abdillah, dan beliau menceritakan perjalanan La Mohang Daeng
Mangkona, serta kami yang mengajukan pertanyaan.
Dan saya akan mengemukakan apa yang
saya dapati melalui artikel ini.
Dahulu kala Samarinda bernama Sama
Rendah, lambat laun masyarakat terbiasa menyebut dengan sebutan Samarinda, maka
sampai sekarang digunakan dengan nama Samarinda. Menurut yang saya ketahui dari
sumber Juru Kunci Ke-3 yaitu Bapak Abdillah, Juru Kunci ke-1 ialah Bapak
Muhammad Toha (Bapak dari Pak Abdillah), dan Juru Kunci ke-2 ialah Bapak
Suriansyah (Kakak dari Bapak Abdillah), lalu Pak Abdillah di wariskan untuk
meneruskan sebagai Juru Kunci ke-3 (sampai sekarang), Samarinda tidak lepas
dari sebuah cerita legenda rakyat bagaimana terbentuknya Samarinda. Sebuah
legenda terbentuknya kota samarinda yang di pelopori sebuah tokoh yaitu La
Mohang Daeng Mangkona, sepengetahuan saya saat berkunjung ke makam beliau dan
dari beberapa pertanyaan yang diajukan beberapa rekan saya kepada Pak Abdillah
selaku Juru kunci (ke-3) makam Lamohang Daeng Mangkona, beliau sendiri tidak
mengetahui bahwa Lamohang Daeng Mangkona itu di lahirkan pada tanggal berapa
dan tahun berapa, namun menurut yang beliau katakan bahwasanya La Mohang Daeng
Mangkona ini berasal dari Suku Wajo Bugis, jadi bisa di perkirakan La Mohang
Daeng Mangkona di lahirkan di Sulawesi dengan kota yang belum bisa di ketahui
letak pastinya dimana.
Awal mula di ketahui bahwa disana ada
makam La Mohang Daeng Mangkona, pada saat Bapak Muhammad Toha ini ingin membuka
lahan di wilayah tanahnya, lalu beliau membakar lahan yang ingin ia gunakan
untuk bercocok tanam, setelah semua terbakar dan pada saat membersihkan lahan,
beliau menemukan beberapa makam +100 makam termasuk makam La Mohang
Daeng Mangkona yang tidak hangus terbakar, lalu beliau menceritakan kepada
temannya yang saat itu temannya mengerti tentang seperti itu, lalu lambat laun
setelah di teliti ternyata makam tersebut ialah makam La Mohang Daeng Mangkona
bersama rombongannya.
Nisan makam La Mohang Daeng Mangkona
bersama 2 makam berdekatan terbuat dari ulin, nisan dari Daeng Mangkona sendiri
berbentuk bulat, dan 2 nisan yang berdekatan dengan makam beliau berbentuk
lempeng dan bulat, yang menurut dari sumber Juru Kunci ke-3 bahwa nisan yang
bulat yaitu mengetahui laki-laki, dan nisan yang lempeng yaitu perempuan.
[Makam La Mohang Daeng Mangkona,
bersama 2 makam yang berdekatan]. 8/04/2017.
Mulai dibangunnya wadah untuk
kenyamanan pengunjung atau bisa di bilang sebagai pendopo ini pada tahun 1994.
Cerita sebuah legenda ini berasal dari masyarakat sekitar Samarinda Seberang,
dan memang lokasi makam La Mohang Daeng Mangkona itu terdapat di Samarinda
Seberang.
Berbicara tentang legenda, legenda
adalah cerita rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu yang
benar-benar terjadi. Oleh karena itu, legenda seringkali dipandang sebagai
“sejarah” kolektif (folkstory) (Hendrayana, 2009). Seperti legenda yang
lainnya, legenda terbentuknya kota Samarinda ini berasal dari daerah setempat
yaitu Samarinda, dan ini termasuk dalam jenis legenda setempat, legenda
setempat adalah cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat dan
bentuk topografi, yaitu bentuk permukaan suatu tempat, berbukit-bukit,
berjurang dan sebagainya. Legenda setempat yang berhubungan dengan nama suatu
tempat misalnya, seperti legenda Kuningan (Hendrayana, 2009).
Berawal dari keputusan dari La
Ma’Dukelleng dari kerajaan Wajo pergi dari Wajo dan memilih mengungsi ke Tanah
Kutai di Kalimantan Timur, saat beliau mengalami kekalahan melawan kerajaan
Bone dengan pasukan yang tak sebanding dengan kerajaan Bone tersebut. Bersama
tiga anaknya yaitu Peta Sibengarang, Peta To Siangka, Peta To Rame, dengan dua
ratus pengikutnya berlayar dengan 14 buah perahu menuju Kutai. Namun mereka
mendarat di daerah Pasir Balengkong di mana tempat itu telah berdiri Kerajaan
Sadurangas. Lalu Kerajaan Sadurangas mengizinkan mereka untuk menetap tinggal
di daerah Pasir (Balhan, 2009: 18).
Setelah satu
bulan menetap, datang lagi rombongan kedua orang Wajo dan Soppeng dengan jumlah
lebih banyak serta menyampaikan kekalahan yang dialami Wajo. Rombongan itu
dipimpin oleh La Mohang Daeng Mangkona.
Dalam perundingan antara La Ma’ Dukelleng dan Lamohang Daeng Mangkona, di
putuskan agar rombongan Daeng Mangkona tetap menuju daerah Kerajaan Kutai yang
masih berpusat di Kutai Lama. Sesampainya di kerajaan Kutai, La Mohang Daeng
Mangkona lalu bersujud meminta perlindungan serta meminta diizinkan untuk
tinggal dan mengabdi pada kerajaan Kutai, dengan berjanji akan menjaga “Ujung
Lidah, Ujung Jakar, dan Ujung Badik” sebagaimana adat yang diadatkan mereka
sejak dari negeri asal mereka. Karena dengan adat yang baik disertai
kesungguhan, permintaan tersebut dikabulkan oleh Raja Aji Pangeran Dipati Mujo Kesumo (Balhan, 2009: 19).
Oleh Sultan
Kutai pada waktu itu, Adji Pangeran Dipati Mojo Kusuma (tahun 1650-1686) yang
berkedudukan di Pemarangan (Desa Jembayan sekarang) diberi tanah di sekitar
Samarinda. Semula di teluk Polewali (artinya tempat orang datang/berdiam yang
berasal dari segala penjuru) (Oemar, 2003).
Menurut
kunjungan saya dan rekan mahasiswa serta dosen ke makam Lamohang Daeng Mangkona,
kami tidak mendapati informasi apakah La Mohang Daeng Mangkona itu membuat
suatu perjanjian bersama kerajaan Kutai, namun saat saya melakukan pencarian
buku-buku mengenai beliau (La Mohang Daeng Mangkona), saya mendapati bahwa La Mohang
Daeng Mangkona melakukan perjanjian dengan kerajaan Kutai saat mereka diberi
tanah di sekitar Samarinda, isi dari perjanjian itu sebagai berikut:
1.
Setia
kepada Raja Kutai sampai turun-temurun.
2.
Membantu
kerajaan Kutai apabila diserang musuh.
3. Raja
Kutai tidak mencampuri urusan pemerintahan orang-orang Bugis.
4. Raja
Kutai tidak akan mempengaruhi, mengubah dan merusak adat istiadat orang-orang
Bugis.
5. Tidak
akan mengangkat pimpinan di Samarinda selain keturunan orang-orang Bugis di
Samarinda (Oemar, 2003).
Dalam buku
“Merajut Kembali Sejarah Kota SAMARINDA” karya H. Oemar Dachlan, menuliskan
bahwa peristiwa itu terjadi pada tahun 1668, sehingga tahun tersebut dicatat
sebagai berdirinya Kota Samarinda.
Samarinda
terus berkembang dibawah pimpinan La Mohang Daeng Mangkona (sebagai Puo Ado
pertama), kemudian oleh raja Kutai diberi jabatan sebagai raja kecil (Adipati).
Dengan segala upaya Pua Ado ini membangun Samarinda, dengan berbagai fasilitas
yang memungkinkannya untuk berkembang. Tahap demi tahap rumah rakit dipindahkan
ke daratan, dibangun jalan lingkungan dan fasilitas pasar, kemudian tahap demi
tahap diusahakan mendirikan pelabuhan (Sjahrani, 1987).
Menurut yang
saya paparkan diatas bahwasanya sosok La Mohang Daeng Mangkona ini memiliki
tanggung jawab yang besar, keuletan bekerja, serta tokoh hebat dalam
pembangunan Kota Samarinda itu sendiri. Dan harapannya informasi mengenai makam
tersebut dapat tersebar luas ke seluruh penjuru dunia, supaya semua dapat
menjadikan pelajaran di masa depan.
Beberapa foto yang di ambil dari
lokasi (08/04/2017):
[Makam Lamohang Daeng Mangkona
(tampak dari belakang)]. 08/04/2017
[Beberapa makam yang berada
di belakang makam Daeng Mangkona, diduga rombongan beliau]. 08/04/2017
Komentar
Posting Komentar